Beberapa keberatan terhadap doktrin adalah bahwa doktrin ini nampaknya tidak adil (dalam pengertian kita). Jika surga adalah sebuah kado yang nantinya akan diberikan kepada beberapa orang, dan Allah merupakan pemilik kado tersebut, maka doktrin predestinasi (seolah olah) mengatakan bahwa Allah telah memilih beberapa dari kita untuk memiliki kado indah tersebut kelak bahkan sebelum kita berbuat apa apa yang dapat membuat Sang Pemilik kado tertarik pada kita.
Pernyataan ini terdengar mengerikan, karena yang dipertaruhkan disini bukanlah sekadar kado, namun hidup dan mati suatu jiwa yang kekal. Katakanlah, jika predestinasi itu benar, dan apabila Allah, sebelum dunia ini dibentuk, telah menentukan sesorang untuk binasa, bukankah semua perbuatan perbuatan baiknya (katakanlah sesorang ini adalah sosok yang cukup beriman) nampaknya akan sia sia?
Kita berpikir memang Allah yang memiliki surga (apapun pengertiannya), dan itu adalah hak mutlakNYA untuk memberikan atau tidak memberikannya kepada seseorang, namun apabila seseorang yang saya sebut di atas tadi adalah saudara dekat kita, teman kita, atau bahkan kita sendiri, tentunya kita tidak akan berpikir sesederhana itu.
Sebuah gagasan (kristiani) dari apologet kristen terbesar abad 20, CS Lewis, nampaknya dapat menjelaskan sesuatu yang (terlihat) kontradiktif ini.
Sama seperti Lewis, saya percaya bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang transenden, bukan Allah yang imanen. Allah berada dalam dimensiNYA yang tak tergapai oleh kita (kecuali jika Dia menyatakan diriNYA kepada kita). Allah bagi kita bagaikan J K Rowling bagi Harry Potter dan Voldemort, atau bagaikan Stephanie Meyer bagi Isabella Swan (perbedaan tentunya adalah bahwa JK Rowling dan Stephanie Meyer tidak terlibat dalam cerita rekaannya, sedangkan Allah kita mengutus Kristus Yesus hidup dan berinteraksi dalam dunia yang diciptakanNYA).
Saya juga percaya bahwa hidup Allah yang bersifat Zoe (level hidup Ilahi) berbeda dengan hidup manusia yang bersifat Bios. Perbedaan level ini lebih menyerupai perbedaan antara persegi panjang (2 dimensi) dengan sebuah kubus (3 dimensi), daripada perbedaan level antara seekor mamalia dengan fungsi tubuh yang kompleks dengan sebuah tumbuhan jamur yang sederhana.
Perbedaan Allah dan manusia ini, menyarankan kepada kita bahwa kita dan Allah memiliki waktu waktu yang berbeda. Jika waktu dalam dunia kita tinggal adalah sebuah garis lurus linier dengan ukuran panjang tertentu, maka (mungkin) waktu dalam dunia Allah adalah sebuah bola pejal, tak berujung, tak bermula, dimana semua periode linier kita semuanya adalah masa sekarang bagiNYA.
dan jika masa lalu kita dan masa depan kita (mungkin) adalah masa sekarang bagiNYA, maka dosa dosa masa lalu kita ketika kita mengisengi teman, atau sewaktu kita menjahati sesorang, adalah masa sekarang bagiNYA, begitu juga dosa dosa kita di masa depan, tatkala kita menghina post orang lain, atau sewaktu mendiskreditkan kepercayaan sesorang.
Dalam dimensiNYA, ruang dan waktuNYA yang tak terikat, tak terbatas dan tak terselami (mereka yang hidup dalam garis linier tentunya tidak dapat menyelami makhluk makhluk yang tinggal di dunia tiga dimensi),Allah mengetahui, apakah sesorang itu layak (tak seorangpun layak, tapi biarlah saya meminjam istilah ini) masuk kerajaanNYA atau tidak. Dari pengetahuan itu, Allah, dalam waktu sekarangNYA, menentukan sesorang binasa atau hidup kekal, yang mungkin waktu sekarangNYA tersebut merupakan waktu lalu bagi kita, atau bahkan waktu sebelum kita ada, dalam domain waktu kita.
Jadi, saya percaya, respon kita terhadap keselamatan (perbuatan baik, kasih, dkk) tetaplah menentukan (sekali lagi, Alah yang menentukan, tapi biarlah saya meminjam istilah ini) keselamatan kita.
Seseorang kemudian mengomentari posting saya tersebut dan bertanya kepada saya:
gua demen sama yang rumit dan sedikit membingungkan begini, karena masih menyajikan potensi dan kejutan2 yang menyenangkan atau mengagetkan ... terutama bagian :
".... tetaplah menentukan (sekali lagi, Alah yang menentukan, tapi biarlah saya meminjam istilah ini) keselamatan kita."
saya ingin menduga saja maksudnya:
manusia di dalam kehidupannya yang linear dalam waktu menjalankan semua kebebasannya sepenuhnya, tetapi karena semua titik waktu hidupnya nya hadir pada "masa kini Allah" maka mustahillah aktivitas akibat kebebasan kehendak manusia itu "luput dari ketetapan Allah" karena Allah mengetahui setiap detail waktu linearnya dulu, kini dan akan datang, jadi juga kehidupannya seluruhnya
maafkan penafsiran saya yang sembarangan ini
Yang kemudian saya jawab sebagai berikut:
Terima kasih atas komentarnya, juga pertanyaannya (saya asumsikan pernyataan bro adalah sebuah pertanyaan).
Harus saya akui bahwa gagasan tersebut memang sesuatu yang (agak) rumit, tetapi setidaknya kita mengerti mengapa kita tidak secara sempurna memahami Allah, seperti yang dikatakan Agustinus, "If you understand, It's not God."
Menurut saya, pengetahuan Allah atas apa yang kita lakukan (secara bebas dan bertanggung jawab) bukanlah suatu pelanggaran terhadap kehendak bebas kita. Apabila saya melihat masa lalu dari seorang rekan saya yang jahat, apakah pengetahuan saya ini ikut menentukan tindakannya di masa lalu? demikian pula apabila saya dapat melihat masa depan rekan saya, bagaikan saya melihat pemandangan pemandangan sehari hari, dan saya melihat dia melakukan sesuatu yang jahat, apakah tindakannya tersebut merupakan sesuatu yang diakibatkan oleh pengetahuan saya yang ajaib ini?
Demikian saya memahami komentar bro*****, mohon maaf apabila saya keliru menginterpretasikan pertanyaan Saudara
Sahlom.
BalasHapusTerima Kasih telah mengunjungi blog ini,
BalasHapusSworDPen