Sewaktu masih berkuliah di
Bandung dulu, salah satu pemandangan yang sering menarik perhatian saya adalah
ketika kota mode tersebut dilawat oleh seorang atau beberapa pejabat. Orang
orang penting ini datang dengan menggunakan mobil hitam yang mewah dan
mengkilap, diiringi sirine yang meraung raung di sekitarnya, menandakan
keberadaan petugas keamanan yang siaga menjaga keselamatan atasan mereka ketika
bahaya mengancam.
Dalam kondisi tersebut, biasanya
jalan jalan utama akan di blok, dan akses pengguna jalan yang lain akan
dibatasi. Tujuannya adalah agar roda empat sang pejabat dapat melaju dan
membelah kota dengan nyaman, mengabaikan kemacetan yang sebenarnya merupakan
bagian dari permasalahan kota ini.
Selalu, saya bertanya dalam hati
setiap kali menyaksikan hal ini.
Saya tahu, beliau datang untuk
mengurusi kota ini dan juga rakyatnya (saya sangat berharap asumsi saya ini
benar, walaupun kadang saya meragukannya). Tapi, mengapa fasilitasnya harus
sedemikian glamor? Mobil mewah, polisi polisi atletis, blokade jalan? Lagipula,
bagaimana beliau dapat merasakan solideritas bagi mereka yang terperangkap
macet dan terik matahari dalam sofa sedannya yang empuk dan ber AC? Bagaimana
beliau dapat merasakan mereka yang menjadi korban kriminalitas, kecopetan,
pelecehan, jambret, apabila segenap patroli siap menjagai keselamatannya?
Lama saya merenungkan hal ini,
dan saya mendapati bahwa dalam pelayanan, saya memiliki mental yang sama dengan
pejabat negara ini.
Jika saya adalah Yesus, dengan
dalih bahwa saya harus melakukan misi yang mulia, saya akan memilih fasilitas
fasilitas terbaik dari surga. Saya akan memilih lahir sebagai putra Mahkota,
atau putra pejabat, ketimbang anak tukang kayu. Saya akan memilih tinggal di
Yerusalem, bukan kota kecil seperti Nazaret, dan kalaupun saya harus mati
disalib, saya akan menegak obat bius dalam dosis yang sebanyak banyaknya hingga
prosesi tersebut tidak terlalu menyakitkan.
Pada akhirnya, saya menyadari
bahwa pelayanan saya sering menuntut fasilitas fasilitas yang mendukung:
gembala yang peduli; teman teman yang sevisi, yang selalu bersama kita, tanpa
perseteruan, tanpa pertikaian dan perselisihan; jemaat yang mudah diatur, orang
tua dari murid murid sekolah Minggu yang mau diajak bekerja sama.
Saya menyadari bahwa saya sering
mengeluh kepada langit ,”Kalau saya punya gaji sekian, saya akan menyantuni
mereka yang kurang beruntung setiap bulannya, Kalau saya sudah memiliki rumah
sendiri, saya akan mengadakan persekutuan pemuda tiap tengah minggu, apabila
saya memiliki kendaraan roda empat, saya akan melibatkan diri dalam antar
jemput jemaat, apabila saya memiliki printer yang bagus, saya akan berani
membuat bulletin gratis yang akan saya bagikan ke persekutuan persekutuan.”
Tetapi syukur kepada Allah, Pejabat
Surga telah menyadarkan saya, apapun yang terjadi, dalam kondisi bagaimanapun, MisiNYA
haruslah tetap saya kerjakan di muka bumi ini, tanpa terlalu banyak menuntut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar